Berita Terkini Headline Animator

selamat datang di Blog'e Kang Yitt ...

BERSIKAP TOLERAN

Yang membuat kaidah atau ungkapan. Kita bantu-membantu
(tolong-menolong) mengenai apa yang kita sepakati dan
bersikap toleran dalam masalah yang kita perselisihkan
adalah al-Allamah Sayyid Rasyid Ridha rahimahullah, pemimpin
madrasah Salafiyyah al-Haditsah, pemimpin majalah al-Manar
al-Islamiyyah yang terkenal itu, pengarang tafsir,
fatwa-fatwa, risalah-risalah, dan kitab-kitab yang mempunyai
pengaruh besar terhadap dunia Islam. Sebelum ini, beliau
telah mencetuskan kaidah al-Manar adz-Dzahabiyyah yang
maksudnya ialah “tolong-menolong sesama ahli kiblat” secara
keseluruhan dalam menghadapi musuh-musuh Islam.
Beliau mencetuskan kaidah tersebut tidak sembarang, tetapi
berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, As-Sunnah, bimbingan salaf
salih, karena kondisi dan situasi, dan karena kebutuhan umat

Islam untuk saling mendukung dan membantu dalam menghadapi
musuh mereka yang banyak. Meskipun diantara mereka terjadi
perselisihan dalam banyak hal, tetapi mereka bersatu dalam
menghadapi musuh. Inilah yang diperingatkan dengan keras
oleh Al-Qur’an, yaitu: orang-orang kafir tolong-menolong
antara sesama mereka, sementara orang-orang Islam tidak mau
saling menolong antara sesamanya. Allah berfirman
“Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung
bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak
melaksanakan apa yang diperintahkan Allah itu, niscaya akan
terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
(al Anfal 73)
Makna illaa taf’aluuhu (jika kamu tidak melaksanakan apa
yang telah diperintahkan Allah itu) ialah: jika kamu tidak
saling melindungi dan saling membantu antara sebagian dengan
sebagian lain sebagaimana yang dilakukan orang-orang kafir.
Jika itu tidak dilakukan, niscaya akan terjadi kekacauan dan
kerusakan yang besar di muka bumi. Sebab, orang-orang kafir
itu mempunyai sikap saling membantu, saling mendukung, dan
saling melindungi yang sangat kuat diantara sesama mereka,
terutama dalam menghadapi kaum muslimin yang berpecah-pecah
dan saling merendahkan sesamanya.
Karena itu, tidak ada cara lain bagi orang yang hendak
memperbaiki Islam kecuali menyeru umat Islam untuk bersatu
padu dan tolong-menolong dalam menghadapi kekuatan-kekuatan
musuh Islam.
Apakah cendekiawan muslim yang melihat kerja sama dan
persekongkolan Yahudi internasional, misionaris Barat,
komunis dunia, dan keberhalaan Timur di luar dunia Islam,
dapat merajut kelompok-kelompok dalam dunia Islam yang
menyempal dari umat Islam? Mampukah mereka menyeru ahli
kiblat untuk bersatu dalam satu barisan guna menghadapi
kekuatan musuh yang memiliki senjata, kekayaan, strategi,
dan program untuk menghancurkan umat Islam, baik secara
material maupun spiritual?
Begitulah, para muslih menyambut baik kaidah ini dan
antusias untuk melaksanakannya. Yang paling mencolok untuk
merealisasikan hal itu ialah al-Imam asy-Syahid Hasan
al-Bana, sehingga banyak orang al-Ikhwan yang mengira bahwa
beliaulah yang menelorkan kaidah ini.
Adapun masalah bagaimana kita akan tolong-menolong dengan
ahli-ahli bid’ah dan para penyeleweng, maka sudah dikenal
bahwa bid’ah itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada
bid’ah yang berat dan ada yang ringan, ada bid’ah yang
menjadikan pelakunya kafir dan ada pula bid’ah yang tidak
sampai mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, meskipun
kita menghukuminya bid’ah dan menyimpang.
Tidak ada larangan bagi kita untuk bantu-membantu dan
bekerja sama dengan sebagian ahli bid’ah dalam hal-hal yang
kita sepakati dari pokok-pokok agama dan kepentingan dunia,
dalam menghadapi orang yang lebih berat bid’ahnya atau lebih
jauh kesesatan dan penyimpangannya, sesuai dengan kaidah:
“Irtikaabu akhaffidh dhararain” (memilih/melaksanakan yang
lebih ringan mudaratnya).
Bukan hanya bid’ah, kafir pun bertingkat-tingkat, sehingga
ada kekafiran dibawah kekafiran, sebagaimana pendapat yang
diriwayatkan dari para sahabat dan tabi’in. Dalam hal ini
tidak ada larangan untuk bekerja sama dengan ahli kafir yang
lebih kecil kekafirannya demi menolak bahaya kekafiran yang
lebih besar. Bahkan kadang-kadang kita perlu bekerja sama
dengan sebagian orang kafir dan musyrik – meskipun kekafiran
dan kemusyrikannya sudah nyata – demi menolak kekafiran yang
lebih besar atau kekafirannya sangat membahayakan umat
Islam.
Dalam permulaan surat ar-Rum dan sababun-nuzul-nya
diindikasikan bahwa Al-Qur’an menganggap kaum Nashara -
meskipun mereka juga kafir menurut pandangannya (Al-Qur’an)
- lebih dekat kepada kaum muslim daripada kaum Majusi
penyembah api. Karena itu, kaum muslim merasa sedih ketika
melihat kemenangan bangsa Persia yang majusi terhadap bangsa
Rum Byzantium yang Nashara. Adapun kaum musyrik bersikap
sebaliknya, karena mereka melihat kaum majusi lebih dekat
kepada aqidah mereka yang menyembah berhala.
Ketika itu turunlah Al-Qur’an yang memberikan kabar gembira
kepada kaum muslim bahwa kondisi ini akan berubah, dan
kemenangan akan diraih bangsa Rum dalam beberapa tahun
mendatang:
“… Dan pada hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu
bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan
Allah …” (ar-Rum: 4-5)
Secara lebih lengkap Al-Qur’an mengatakan:
“Alif laam miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri
yang terdekat Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang,
dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan
sesudah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa
Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang benman, karena
pertolongan Allah. Dia menolong siapa yangdikehe ndaki-Nya.
Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (ar-Rum:
1-5)
Nabi saw. pernah meminta bantuan kepada sebagian kaum
musyrik Quraisy setelah Fathu Makkah, dalam menghadapi
musyrikin Hawazin, meskipun derajat kemusyrikan mereka sama.
Hal itu beliau lakukan karena menurut pandangan beliau bahwa
kaum musyrik Quraisy mempunyai hubungan nasab yang khusus
dengan beliau. Disamping itu, suku Quraisy termasuk suku
yang mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat,
sehingga Shafwan bin Umayyah sebelum masuk Islam pernah
mengatakan, “Sungguh saya lebih baik dihormati oleh seorang
Quraisy daripada dihormati oleh seorang Hawazin.”
Bagi Ahlus-Sunnah – meski bagaimanapun mereka membid’ahkan
golongan Muktazilah – tidak ada alasan untuk tidak
memanfaatkan ilmu dan produk pemikiran golongan Muktazilah
dalam beberapa hal yang mereka sepakati, sebagaimana tidak
terhalangnya mereka untuk menolak pendapat Muktazilah yang
mereka pandang bertentangan dengan kebenaran dan menyimpang
dari Sunnah.
Contoh yang paling jelas ialah kitab Tafsir al-Kasysyaf
karya al-Allamah az-Zamakhsyari, seorang Muktazilah yang
terkenal. Dapat dikatakan hampir tidak ada seorang alim pun
(dari kalangan Ahlus Sunnah) – yang menaruh perhatian
terhadap Al-Qur’an dan tafsirnya – yang tidak menggunakan
rujukan Tafsir al-Kasysyaf ini, sebagaimana tampak dalam
tafsir ar-Razi, an-Nasafi, an-Nisaburi, al-Baidhawi, Abi
Su’ud, al-Alusi, dan lainnya.
Begitu pentingnya Tafsir al-Kasysyaf ini (bagi Ahlus-Sunnah)
sehingga kita dapati orang-orang seperti al-Hafizh Ibnu
Hajar mentakhrij hadits-haditsnya dalam kitab beliau yang
berjudul Al-Kaafil asy-Syaaf fi Takhriji Ahaadiits
al-Kasysyaaf. Kita jumpai pula al-Allamah Ibnul Munir yang
menyusun kitab untuk mengomentari al-Kasysyaf ini, khususnya
mengenai masalah-masalah yang diperselisihkan dengan judul
al-Intishaaf min al-Kasysyaaf.
Imam Abu Hamid al-Ghazali, ketika menyerang ahli-ahli
filsafat yang perkataan-perkataannya menjadi fitnah bagi
banyak orang, pernah meminta bantuan kepada semua firqah
Islam yang tidak sampai derajat kafir. Karena itu, beliau
tidak menganggap sebagai halangan untuk menggunakan produk
dan pola pikir Muktazilah dan lainnya yang sekiranya dapat
digunakan untuk menggugurkan pendapat/perkataan ahli-ahli
filsafat tersebut. Dan mengenai hal ini beliau berkata dalam
mukadimah Tahafut al-Falasifah sebagai berikut:
“Hendaklah diketabui bahwa yang dimaksud ialah memberi
peringatan kepada orang yang menganggap baik terhadap
ahli-ahli filsafat dan mengira bahwa jalan hidup mereka itu
bersih dari pertentangan, dengan menjelaskan bentuk-bentuk
kesemerawutan (kerancuan) mereka. Karena itu, saya tidak
mencampuri mereka untuk menuntut dan mengingkari, bukan
menyerukan dan menetapkan perkataan mereka. Maka saya
jelekkan keyakinan mereka dan saya tempatkan mereka dengan
posisi yang berbeda-beda. Sekali waktu saya nyatakan mereka
bermazhab Muktazilah, pada kali lain bermazhab Karamiyah,
dan pada kali lain lagi bermazhab Waqifiyah. Saya tidak
menetapkannya pada mazhab yang khusus, bahkan saya anggap
semua firqah bersekutu untuk menentangnya, karena semua
firqah itu kadang-kadang bertentangan dengan paham kita
dalam masalah-masalah tafshil (perincian, cabang), sedangkan
mereka menentang ushuluddin (pokok-pokok agama). Karena itu,
hendaklah kita menentang mereka. Dan ketika menghadapi
masalah-masalah berat, hilanglah kedengkian diantara sesama
(dalam masalah-masalah kecil/cabang).”
Saudara penanya berkata, “Bagaimana kita bersikap toleran
kepada orang yang menentang kita, yang nyata-nyata
menyelisihi nash Al-Qur’an atau hadits Nabawi, sedangkan
Allah berfirman:
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(As-Sunnah).” (an-Nisa’: 59)
Menurut saya (Qardhawi), saudara penanya ini tidak
mengetahui suatu perkara yang penting, yaitu bahwa nash-nash
itu mempunyai perbedaan besar dilihat dari segi tsubut
(periwayatan) dan dilalah (petunjuk)-nya, yaitu ada yang
qath’i dan ada yang zhanni. Diantara nash-nash itu ada yang
qath’i tsubut seperti Al-Qur’an al-Karim dan hadits-hadits
mutawatir yang sedikit jumlahnya itu. Sebagian ulama
menambahkannya dengan hadits-hadits Shahihain yang telah
diterima umat Islam dan disambut oleh generasi yang
berbeda-beda sehingga melahirkan ilmu yang meyakinkan.
Tetapi sebagian ulama lagi menentangnya, dan masing-masing
mempunyai alasan:
Disamping itu, ada nash yang zhanni tsubut. Misalnya,
hadits-hadits umumnya, baik yang sahih maupun hasan yang
diriwayatkan dalam kitab-kitab sunan, musnad, mu’jam, dan
mushannaf yang bermacam-macam.
Pada taraf zhanniyyah ini derajat hadits itu bermacam-macam.
Ada yang sahih, hasan, shahih lidzatihi dan hasan lidzatihi,
serta ada pula yang shahih lighairihi dan hasan lighairihi,
sesuai dengan sikap imam-imam dalam mensyaratkan penerimaan
dan pentashihan suatu hadits, ditinjau dari segi sanad atau
matan, atau keduanya. Karena itu, ada orang yang menerima
hadits mursal dan menjadikannya hujjah, ada yang menerimanya
dengan syarat-syarat tertentu, dan ada yang menolaknya
secara mutlak.
Kadang-kadang ada yang menganggap seorang rawi itu dapat
dipercaya, tetapi yang lain menganggapnya dhaif. Ada pula
yang menentukan beberapa syarat khusus dalam tema-tema
tertentu yang dianggap memerlukan banyak jalan
periwayatannya, sehingga ia tidak menganggap cukup bila
hanya diriwayatkan oleh satu orang. Hal ini menyebabkan
sebagian imam menerima sebagian hadits dan melahirkan
beberapa hukum daripadanya, sedangkan imam yang lain
menolaknya karena dianggapnya tidak sah dan tidak memenuhi
syarat sebagai hadits sahih. Atau ada alasan lain yang lebih
kuat yang menentangnya, seperti praktek-praktek yang
bertentangan dengannya.
Masalah di atas banyak contohnya dan sudah diketahui oleh
orang-orang yang mengkaji hadits-hadits ahkam, fiqih muqaran
(perbandingan), dan flqih mazhabi. Mereka menulisnya dalam
kitab-kitab mereka yang disertai dengan dalil-dalil untuk
memperkuat mazhabnya dan menolak mazhab/orang yang
bertentangan dengannya.
Sebagaimana perbedaan nash dari segi tsubut-nya, maka
perbedaan nash dari segi dilalah lebih banyak lagi.
Diantara nash-nash itu ada yang qath’i dilalahnya atas
hukum, yang tidak rnengandung kemungkinan lain dalam
memahami dan menafsirkannya. Contohnya, dilalah nash yang
memerintahkan shalat, zakat, puasa, serta haji (yang
menunjukkan wajibnya); dilalah nash yang melarang zina,
riba, minum khamar, dan lain-lainnya (yang menunjukkan
keharamannya), dan dilalah nash-nash al-Qur’an dalam
pembagian waris. Tetapi nash yang qath’i dilalahnya ini
jumlahnya sedikit sekali.
Kemudian ada pula nash-nash yang zhanni dilalahnya, yakni
mengandung banyak kemungkinan pengertian dalam memahami dan
menafsirkannya.
Karena itu, ada sebagian ulama yang memahami suatu nash
sebagai ‘aam (umum), sedangkan yang lain menganggapnya
makhsus (khusus). Yang sebagian menganggapnya mutlak, yang
lain muqayyad. Yang sebagian menganggapnya hakiki, yang lain
majazi. Yang sebagian menganggapnya mahkam (diberlakukan
hukumnya), yang lain mansukh. Yang sebagian menganggapnya
wajib, yang lain tidak lebih dari mustahab. Atau yang
sebagian menganggap nash itu menunjukkan hukum haram, yang
lain tidak lebih dari makruh.
Adapun kaidah-kaidah ushuliyyah yang kadang-kadang oleh
sebagian orang dikira sudah mencukupi untuk menjadi tempat
kembalinya segala persoalan, hingga setiap perbedaan dapat
diselesaikan dan setiap perselisihan dapat diputuskan,
ternyata dari beberapa segi masih diperselisihkan. Ada yang
menetapkannya, ada yang menafikannya, dan ada yang memilih
diantara yang mutlak dan muqayyad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar